Riot Games merupakan sebuah contoh masalah yg relatif unik pada industri game. Ketika sebagian akbar developer membentuk popularitas dan nama lewat kualitas majemuk produk yg mereka racik dalam kurun tahunan, Riot Games tumbuh menjadi raksasa karena kesuksesan hanya satu nama saja – League of Legends. Game MOBA yg sudah hayati dan bertahan selama bertahun-tahun ini menjadi pondasi penyokong Riot Games & sebagai nama yg terikat dengannya. Riot Games hayati buat League of Legends dan begitu pula sebaliknya. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika banyak gamer yang bertanya-tanya saat lewat produk terkini mereka, Riot Games hendak keluar dari “semesta” yang membesarkan namanya tersebut.
Bermula menjadi game yang dinamai “Project A” dan lalu tumbuh menjadi game VALORANT yg baru saja tersedia di pasaran sebagai game free to play ini, Riot Games hendak menjajal kemampuan mereka buat meracik game kompetitif lain selain League of Legends. Kita bertemu menggunakan genre baru, pasar gamer yg baru, tantangan baru, dan tentu saja, ambisi yang baru - Daftar slot Online
Apalagi, VALORANT pula terasa berusaha melebur elemen-elemen terbaik berdasarkan dua tren game FPS kompetitif – mereka yg hadir dalam konsep hero shooter ala Overwatch dan yg lebih mengutamakan mekanik seperti Counter-Strike: Global Offensive. Kesemuanya dilebur pada kualitas visualisasi sederhana dan spesifikasi PC tidak terlalu berat yang membuat PC tua sekalipun, nir sulit untuk menanganinya
Game Jenis Apa Valorant ?
Valorant merupakan game kompetitif 5vs5.
Anda yg seringkali menikmati game-game shooter kompetitif tampaknya nir akan lagi asing menggunakan konsep yang ditawarkan sang VALORANT. Dunianya dibangun menurut sebuah kisah eksistensi insan-insan bumi istimewa yang datang-tiba menerima kekuatan spesifik selesainya sebuah event misterius bernama “First Light” mengemuka. Tidak terdapat yg memahami apa sebenarnya “First Light” ini, tetapi nir sekedar memberikan kekuatan dalam beberapa insan, dia jua mendorong transformasi drastis pada kehidupan, teknologi, dan cara pemerintahan bekerja. Para manusia istimewa yg dianggap menjadi “Radiants” ini & mereka yg sekadar dipersenjatai dengan teknologi Radiant pun dikumpulkan sang satu organisasi misterius bernama Valorant Protocol.
Sisanya? Seperti game yg difokuskan dalam pengalaman multiplayer pada umumnya, kisah yang diusung VALORANT akan tumbuh dan berkembang seiring menggunakan lebih poly event dan karakter yang diperkenalkan pada masa depan. Satu yg pasti, kisah ini kemudian ditranslasikan pada sebuah game multiplayer kompetitif yang memuat 2 tim yg saling bertarung satu sama lain, pada format lima VS lima. Pada waktu review ini ditulis, perseteruan terjadi pada majemuk belahan dunia menggunakan lokasi dagi dengan misi yang sama – dimana satu pihak berusaha memicu sebuah alat peledak masif bernama Spike, ad interim tim yang lain berusaha buat mencegahnya. Inilah konsep utama Valorant.
Dengan komsep yang menarik
Terlepas dari fakta bahwa keduanya merupakan game FPS, menggabungkan konsep yang ditawarkan oleh Overwatch dan Counter Strike: Global Offensive di dalam satu ruang yang sama adalah sesuatu yang terhitung gila. Mengapa? Karena game shooter seperti Overwatch menawarkan cita rasa arcade yang lebih kental, dimana kita bertemu dengan karakter seperti Junkrat misalnya, yang bahkan bisa berkontribusi dalam pertempuran tanpa harus membidik sekalipun ataupun Reinhardt yang datang sebagai tanker dengan role dan fungsi yang jelas di dalam tim. Konsep seperti ini kemudian hendak dipadupadankan dengan sebuah game shooter taktis dimana gamer butuh untuk mengetahui, memahami, dan mengerti cara kerja setiap senjata yang ada di luar kebutuhan untuk berstrategi. Berita baiknya? VALORANT sukses mengeksekusi perpaduan keduanya dengan matang.
Hadir dengan karakter-karakter hero yg masing-masing memiliki skill yang berbeda-beda, cita rasa shooter hero yg diusung VALORANT memang tidak menonjol. Ini berarti, Anda selalu punya kesempatan buat merenggut kemenangan tanpa menggunakan skill Anda sama sekali. Terlepas berdasarkan informasi bahwa setiap hero (yang dianggap sebagai Agen di game ini) punya setidaknya 4 skill tidak selaras dengan keliru satunya berfungsi sebagai agresi Ultimate menggunakan sifat yg lebih destruktif, Anda selalu mampu menang dengan hanya mengandalkan senjata di tangan. Skill yang diusung karakter-karakter ini memang lebih secara umum dikuasai dikuasai oleh “utility” skill, antara memblokir pandangan musuh, membuat mereka buta, berperan tidak ubahnya flamethrower atau sebuah granat biasa, atau sekadar mengetahui dan melacak posisi musuh
Konsep shooter hero ini semakin terdesak ke belakang layar saat Anda mulai memahami bahwa terlepas dari keunikan setiap skill yg dia usung, nir ada karakter yang sahih-sahih punya satu kiprah spesifik yg jelas – misalnya Mercy atau Reinhardt pada Overwatch. Anda memang akan bertemu menggunakan Agen yang bisa memulihkan diri menggunakan memakan jiwa musuh yg dia bunuh misalnya Reyna contohnya, atau karakter yang punya sisi ultimate yg mampu membuatnya membangkitkan karakter yang telah tewas misalnya Sage, namun Anda nir akan bertemu dengan taktik permainan yg berpusat dalam mereka. Karenanya, dia membuat komposisi tim di dalam VALORANT berujung nir seberapa krusial. Apapun komposisi tim yg diracik, bahkan saat musuh melakukan last pick sekalipun, kemenangan permanen bergantung dalam seberapa lihai mereka membidik dan menembak setiap musuh yg terdapat. Semua ekstra skill yg sanggup diakses pada Agen tidak ubahnya “insentif” buat menciptakan arena & sensasi pertempuran terasa sedikit berbeda menggunakan taktik spesifik yg bisa ditempuh. Namun sekali lagi, perencanaan pertempuran Anda tidak akan bergantung dalam komposisi Agen dalam tim.
Menariknya lagi, VALORANT jua nir sanggup dibilang “se-hardcore” Counter Strike: Global Offensive itu sendiri. Ada usaha buat mempertahankan sensasi yg serupa, tetapi menggunakan kompleksitas yang diturunkan atas nama buat merekrut pasar lebih luas. Ada poly indikasi yang sanggup kita temukan. Sebagai model? Pengelompokan dan varian senjata yang lebih sedikit sehingga Anda nir perlu dipusingkan menggunakan upaya berpikir keras hendak menunjuk kemana uang yang Anda kumpulkan di setiap ronde. Sebagian besar senjata ini pula mendukung sistem aim sebagai akibatnya Anda selalu mampu membunuh musuh pada jarak yg jauh. Alasan lain jua ada dari sistem spray yg beliau usung. Walaupun Anda wajib menjaga dan mengatur tembakan Anda di VALORANT, dia nir berujung se-ekstrim yang dilakukan CS:GO. Anda masih sanggup memuntahkan peluru relatif banyak menggunakan senjata apapun pada beberapa dtk awal tembakan sebelum recoil merogoh alih.
Maka pengalaman Anda bermain VALORANT memang akan lebih mirip dengan pengalaman Anda bermain Counter-Strike. Di awal, terlepas apakah Anda tim penyerang atau bertahan, Anda akan menemukan tim yg umumnya terpecah buat beranjak ke beberapa lokasi pem-bom-an yang juga dibagi ke dalam majemuk huruf tidak selaras. Desain peta VALORANT memang wajib diakui lebih lugas, dimana dia menunjukkan lebih poly jalan alternatif ke lokasi eksklusif. Di awal pertempuran, Anda akan menemukan poly lemparan skill pada sana-sini yg sebagian akbar dirancang buat mendeteksi kehadiran musuh atau membatasi sudut pandang dan pergerakan mereka. Hanya pada 30 detik pertama, Anda umumnya sudah memiliki gambaran kira-kira dimana area “panas” akan terjadi & petempuran akan berjalan cepat. Tim yang pertama kali menyentuh nomor 13 kemenangan akan dihitung menjadi jawara.
Kesimpulan :
VALORANT tampil menjadi sebuah kolaborasi konsep yg jelas, sudah dipikirkan dan untungnya, dieksekusi dengan matang. Di atas kertas, menggabungkan konsep sebuah game shooter hero menggunakan gameplay ala CS: GO memang terdengar misalnya sebuah pertentangan yg notabene mustahil untuk mampu membentuk game kompetitif yg seru dan berimbang. Namun Riot Games memberitahuakn tajinya di sini, menghasilkan sensasi game FPS yang relatif berbeda & unik, sambil memastikan pengalaman multiplayer yang beliau usung memang seru, menegangkan, & menyenangkan pada saat yg sama. Semuanya menyempurna lewat sistem microtransactions yg ketika ini masih sebatas item-item kosmetik yg tidak mempengaruhi performa sama sekali, tuntutan performa yg ringan, dan format distribusi free to play yg menggoda.
Walaupun demikian, VALORANT pada ketika review ini ditulis, memang bukanlah game kompetitif yg paripurna. Selain sistem anti-cheat miliknya – Vanguard yang terasa & terlihat angker karena kebutuhan buat terus bercokol di sistem Anda walaupun VALORANT-nya sendiri nir aktif, game ini jua butuh sistem yg lebih baik buat menghukum gamer yg AFK & mencari solusi buat sesegara mungkin mengganti posisi kosong tersebut menggunakan player lain daripada sekadar menaruh uang ekstra atas nama “balancing”. Dengan tidak adanya kill-cam atau kesempatan untuk mengobservasi perilaku player musuh, waktu ini pula sulit untuk mengetahui & mengawasi apakah terdapat player yang menggunakan cheat sesungguhnya atau mereka memang punya skill di atas rata-rata.
u-sophia
ReplyDelete.